Senin, 02 Februari 2009

KULIAH DAN KERJA?

Kuliah dan kerja? siapa yang sanggup dan mau membagi waktu belajarnya untuk ini? sepertinya sulit, bagaikan menelan air garam namun tak hilangkan dahaga sedikitpun. Kuliah adalah tujuan utamaku datang ke jogja, tapi waktu yang kian berlalu seiring dengan kondisi ekonomi yang semakin menjerat leher sehingga siapa yang mampu bertahan dengan perubahan itu maka akan mampu untuk bertahan hidup, oleh karena itu kondisi di kampung halamanku tempat aku tinggal, sekarang tinggal bapak ibu beserta adik-adikku yang menunggu kepulanganku berharap aku mampu merubah kondisi sulit yang terjadi di rumahku. sampai detik ini aku belum mampu mewujudkan itu, sebenarnya sembilu mengiris dalam hati namun kuberusaha tuk menahannya.aku bingun orang tuaku sudah tidak sanggup lagi membiayai aku kuliah, aku harus kuliah....namun berat dan sulit untuk kudapatkan biaya itu, aku harus kerja....tapi disini sampai basah kemeja putih dengan keringat, celana hitm jadi lusuh karena debu jalanan, yang aku dapatkan hanya maaf tak ada lowongan.
matahari yang mengiringi langkahku membuat tenggorokanku kering, ingin meneguk segelas air es yang dijual namun lebih baik aku tahan saja. semua itu hilang karena niat keras ku untuk mencari biaya kuliah haus dan lapar sudah menjadi teman setiaku mencari kerja

Jumat, 30 Januari 2009







PERJALANAN


Niat Baik : Dilema Karakter ?

Sabtu,31 januari 2009
Sungguh kisah lalu itu mungkin adalah ketidak adilan kesekian yang aku lakukan. Sesal dan lega kini bercampur. Aku
coba lepaskan sesal sambil terus memperbaiki diri. Ku coba lepaskan lega ku dengan terusmelihat ke dalam dan tak
melepas hari tanpa tanya.
Siapa tak ingin membahagiakan orang lain ? Saya yakin semua kita
rindu untuk berbuat demikian, apa lagi terhadap sanak keluarga
sendiri. Tentu senang melihat orang lain bisa tertawa bahagia.
Sungguh, Anda tentu masih ingat kejadian sedemikian. Kadang rasa
senang itu demikian intens nya, bahkan terhadap kejadian yang jauh
dari kita sekalipun. Anda tentu bisa mengurai kembali getaran rasa
yang muncul kala menyaksikan acara di banyak stasiun televisi, yang
mengangkat kisah bahagia orang lain. Ekspresi bahagia yang ternyata
mengharukan kita yang berjarak dari tempat kejadian sebenarnya.
Bahkan air mata bisa meluncur deras tak kita sadari.
Perasaan, kenangan, suara-suara nyata tentu makin kentara dan
berwarna kala yang hendak kita buat bahagia itu adalah keluarga
sendiri.
Namun pada saat yang sama awas kah kita akan semua tindakan dan
perilaku kita, yang lahir atas nama membahagiakan orang lain ?
Jujurkah kita, bahwa yang kita lakukan semata untuk membahagiakan
orang lain ?
Aku pernah masuk dalam kubangan dilema (karakter) sedemikian !
Ini tentang betapa ringkihnya sebuah niat. Ini tentang betapa
sedemikian ngotot nya aku mendorong dan membiayai kuliah salah satu
adik ku; adik lelaki di antara kami yang tiga bersaudara.
Sementara aku sendiri adalah sulung yang kebetulan pernah mencicipi
bangku lembaga pendidikan di jogja; walau kemudian aku memutuskan untuk
kuliah sambil bekerja.
Kuliah adalah barang mahal bagi keluarga besar kami, bahkan nyaris
tak ada dalam kamus dan impian kami. Aku sendiri bahkan termasuk
orang pertama dalam keluarga besar kami yang bisa mencicipi udara
kampus Jogja.
Demikian banyak 'keajaiban' terjadi, yang kemudian mengantarkan ku
untuk bisa kuliah. Rentetan kejadian bagai mimpi yang bercampur
dengan jelas nya suara ayahku, yang pada suatu sore berujar bahwa
aku tidak bisa kuliah. Sebuah pernyataan yang wajar dari seorang
ayah dengan tiga anak, yang hanya menggunakan hasil sawah untuk membiayai pendidikan anak-anaknya..
Kerasnya usaha untuk bertahan di kampus Biru bercampur dengan
banyak interaksi warna-warni dengan sesama mahasiswa. Makin kaya
penghayatan ku kala sering berhenti dan terkesima sebagai penonton
pertunjukan kesenjangan ekonomi di sana-sini, bahkan di antara kami
yang teriak keras atas kesenjangan itu !
Warna-warni demikian menjadi sintesa yang membentuk diri ku. Aku
yang demikian dendam pada kemiskinan, kala itu. Jangan-jangan
amarah demikian lah yang membuatku hidup dan mungkin memaksa diri
mendorong adik-adik ku untuk kuliah.
Usai bertahun menikmati udara panas di sekitar kampus, singkat cerita mulailah aku menjalani hidup
sebagai pekerja. Dan terus saja dendam dan impian untuk melihat
adik-adik ku kuliah makin kuat. Sedemikian kuat hingga kadang aku
membutakan diri pada realita kala itu. Realita di kepala ku adalah
adik-adik ku yang kuliah.

Sedemikian kuatnya, angan dan realita itu, hingga semuanya berujung
pada sebuah asosiasi akan kebahagian diri. Pada waktu itu bahagia ku
adalah realita tentang adik-adik ku yang kuliah. Seakan ada suara
pemberi dosa yang berteriak keras jika aku tak bisa menyekolahkan
adik ku. Dalam benak ku , bahagia seakan menjauh jika aku gagal
membuat adik-adik ku mencicipi bangku kuliah.
Gusar pun menguat ketika dua adik ku yang lain --- si bungsu dan
kakak nya – sudah 'berhasil' kuliah. Ada kebanggaan pada mereka.
Namun ini tak cukup membuat ku bahagia. Aku punya tiga dua dan
mereka semua harus kuliah. Tak ada kebahagiaan kalau mereka tak
seperti yang aku harapkan. Adik ku, lelaki yang satu ini belum
kuliah. Setamat SMA ia bekerja sebagai kuli bangunan singkatnya kerja serabutan.
Sungguh ini pernah sedemikian membebani aku. Aku yang bermimpi
melihat adik ku kuliah jutru mendapat dia sebagai kuli
Nalar rasional ku sama sekali tidak masalah dengan pekerjaan nya,
walau kadang ada rasa iba. Kala itu aku memang takluk pada realita
emosional ku. Aku berupaya keras mencari cara agar adik ku ini
kuliah.
Di tengah komunikasi ku yang memang tidak mulus sejak aku di tingkat
SMA, aku mencari akal untuk membuka bicara dengan satu target ia
setuju untuk kuliah.
Akhirnya datang juga saat yang membahagiakan ku. Adik ku setuju
ambil kuliah di sebuah PTS dekat rumah kami. Dekat rumah agar mudah
dan tak terlalu lelah ia pulang pergi ke kampus usai dari
tempatnya bekerja. Hari ini aku bisa berujar bahwa sungguh tidak
adil apa yang aku lakukan, membuat adik ku habis-habisan curahkan
energi untuk kerja dan kuliah. Namun senang ku melihatnya kuliah
sungguh membutakan nalar.
Adik ku pun mulai kuliah. Tak banyak yang aku tahu apa yang terjadi.
Yang aku tahu aku senang hingga tak kupikir biaya yang aku keluarkan
untuk kuliah nya. Semuanya membutakan. Senang ku pun menutup empati.
Ya, aku sungguh tak mempertimbangkan `penderitaan' yang mungkin ada
dan dialami adik ku
Adik ku terus kuliah. Beberapa bulan kemudian ku lihat tak semua
berjalan lancar. Aku risau. Ku ajak ia bicara. Ku tanya apa maunya,
dengan nada tertahan.
Adik ku diam, namun suara lain hinggap di telinga ku : adik ku tak
mau kuliah. Kuliah mungkin bukan jalan sejarahnya, paling tidak
hingga hari ini. Tak mungkin menjadi jalan sejarahnya, karena
mungkin konsep kuliah tidak pernah berwarna dalam benaknya. Tak
akan bisa jadi realita kalau itu tak ada dalam konsep hidup kita.
Tak mungkin ia bisa menikmati kuliah, karena kuliah bukan impiannya.
Aku --- kala itu terdiam --- sejumlah rasa bercampur, sama beratnya
menerima kenyataan adik ku bekerja sebagai kuli bangunan. Risau itu lama
bersemayam dalam diri ku. Sejumlah mekanisme pertahanan diri yang
membenarkan pilihan tindakan ku bertarung keras dengan suara-suara
akan kebahagiaan orang lain. Risau itu lama ku pendam, bahkan
mungkin pernah tentram dalam ketidak sadaranku.
Aku sendiri tak ingat lagi kapan tepatnya aku sampai pada kesadaran
baru. Kesadaran akan penghormatan akan hak orang lain. Kesadaran
akan kebebasan orang lain. Kesadaran akan kebebasan adik ku. Adik ku
sendiri.
Aku juga tak ingat pasti, kapan bangunan realita baru tegak berdiri
dalam kepala ku. Sebuah realita dalam peta mental ku. Sebuah peta
mental tentang kebahagiaan. Sebuah kesadaran dan pemaknaan ulang
akan esensi kebahagiaan.
Sungguh kisah lalu itu mungkin adalah ketidak adilan kesekian yang
aku lakukan. Sesal dan lega kini bercampur. Aku coba lepaskan sesal
sambil terus memperbaiki diri. Ku coba lepaskan lega ku dengan terus
melihat ke dalam dan tak melepas hari tanpa tanya.
Bukan kah tidak adil memaksakan kehendak, walau itu katanya atas
nama niat baik ? Bukan kah tidak pada tempatnya niat baik kita
justru menjadi penjara bagi orang lain ? Bukan kah tidak pas rasanya
jika kebahagian kita tergantung pada orang lain ? Bukan kah aku bisa
memilih untuk tetap merasa bahagia walau adik ku tidak kuliah ?
Bukan kah aku bisa memilih untuk tetap bahagia menyaksikan adik ku
bekerja sungguh-sungguh ? Bukan kah harus nya aku bahagia
menyaksikan adik ku mengabdi sungguh-sungguh pada pilihannya ?
Jangan-jangan apa yang dilakoni adik ku adalah impian terdalamnya ?
Jangan-jangan dengan mengabdi sebagai petugas keamanan ia justru
mendapatkan kemerdekaan nya ? Bukan kah semestinya aku justru harus
bahagia melihat bahagianya adik ku ?
Hari ini, aku bersyukur dan terus bersyukur. Bersyukur masih
menyaksikan adik ku yang mudah-mudahan tetap bahagia di atas pilihanpilihan
hidupnya. Aku bersyukur mendapat kesempatan melihat dengan
kaca mata berbeda, bersyukur mampu mencipta realita baru dalam
kepala ku. Realita subyektif yang mewarnai banyak interaksi ku
dengan adik ku saat ini.
Istighfar ku pada Illahi Rabbi, karena jangan-jangan aku telah
menganiaya adik ku. jangan-jangan aku telah coba raih bahagia diri
di atas derita adik ku.
Barangkali banyak detil terlewat. Bisa jadi banyak fakta masih
terbenam dalam keangkuhan. Namun paling tidak aku sungguh belajar
akan hal sederhana : hati-hati dengan niat subyektif, hati-hati
dengan niat untuk membahagiakan